Ambivalensi antara kewajiban dan keinginan.
Ketika mutu pelayanan kesehatan mengemuka sebagai panglima program unggulan depkes dengan nama quality assurance ( QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak Puskesmas sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat terperangah oleh program tersebut. Tetapi sebagai institusi bawahan depkes, lagi-lagi Puskesmas berada di posisi tak berdaya dan lagi-lagi hanyalah sebagai terminal akhir pembuangan dan berposisi layaknya sandal jepit. Mungkin depkes lupa bahwa para dokter yang ada di Puskesmas adalah seorang sarjana juga seperti halnya para petinggi depkes. Lupa mungkin karena tampilan dokter puskesmas yang tak pernah berdasi dan naik pusling kala tugas, tidak seperti teman-temannya di depkes yang sebagian diantaranya berdasi dan naik mobil dinas mulus. Padahal bisa jadi kala sekolah di fk dahulu, yang di depkes tidak lebih pandai dari yang di puskesmas. Pun demikian pula setelahnya, lebih-lebih kala berbicara kepekaan keperluan masyarakat terhadap layanan kesehatan, dijamin dokter di puskesmas lebih peka dibanding dokter di depkes walau sepanjang apapun gelarnya. Yang membedakan hanyalah kekuasaan.Itulah kira-kira gambaran umum, mengapa hingga kini puskesmas ibarat tempat uji coba, trial and error aneka macam program dari depkes.
Jaminan mutu produk tahun 1996 yang lalupun, konon hasil pemikiran grusa-grusu karena ada "jajan" berupa pinjaman IMF (maksudnya hutang yang harus dibayar), yang mana depkes tidak mau kalah dengan departemen lain untuk ikut mencicipi jajan IMF. Dan supaya dapat dana segar nan besar, nama programnya pun dibuat "greng", maka bim salabim lahirlah Quality Assurance atau Jaminan Mutu. Parameterpun disiapkan, demikian pula pelatihan, panduan, monitor dan evaluasinya, baik terhadap item kegiatan ataupun terhadap program besarnya.
Menurut saya, program tersebut langkah mundur. Mengapa? Karena hanya untuk mendiagnosa pnemonia, diperlukan pelatihan seminggu, itupun berulang. Padahal dengan membaca 1 jam sebagai review sudah lebih dari cukup.
Demikian pula parameter persentase injeksi untuk penyakit neuritis dan atau sebangsanya, boleh dikata sulit untuk diterima, mengingat alasannya adalah penghematan. Tak cukup denngan itu, di beberapa daerah bahkan ada kampanye tidak usah suntik jika tidak perlu, yang tertulis besar di dinding Pusling. Nun di sisi lain kita diwajibkan mengejar target imunisasi yang nota bene berupa suntikan kecuali polio. Tanyakan kepada warga, apa ngga membingungkan?
Menyimak produk depkes tahun 1988, yang mana dalam Pedoman Kerja Puskesmas sudah sangat jelas dan rinci berisi panduan tatalaksana setiap kegiatan di Puskesmas yang mengacu kepada UPK, termasuk panduan pengobatan, maka program QA adalah sebuah langkah kebimbangan dan ambivalensi. Artinya mengulang program mapan yang sudah terintegrasi dengan keseharian para petugas Puskesmas dengan mengganti nama QA yang justru lebih sempit tapi tidak lebih mendalam. Bedanya hanya di segi dana yang luar biasa besar dan pelatihan berulang yang justru buang-buang waktu.
Untuk meningkatkan mutu layanan, tidak cukup dengan kajian monopoli petinggi Depkes, lebih dari itu ada ukuran non teknis yakni keinginan dan harapan warga.
Sayangnya yang ini tidak pernah tersentuh, artinya pengguna jasa pelayanan Puskesmas tak lebih hanyalah obyek semata yang tak punya hak suara.
Siklus demikian mestinya tidak boleh terulang.
Memulai secara internal
Sesungguhnya, upaya meningkatkan mutu layanan tidaklah sulit, terpulang pada nurani pelaku kesehatan sebagai niat hakiki untuk memberikan yang terbaik kepada pengguna jasa pelayanan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Rasanya hal ini belum dilakukan secara masif. Kata singkatnya adalah memulai dari internal jajaran kesehatan di semua tingkatan.
Sebagai contoh, ketika pengadaan alat medis masih melakukan mark-up, semisal harga alat kedokteran resminya 500 juta tapi dalam spj ditulis 800 juta, maka jangan harap ada peningkatan mutu, karena diawali dengan perilaku yang tidak bermutu bahkan tercela. Bagaimana mungkin mendapatkan buah yang baik ketika menanam benihnya sudah salah? Mari kita renungkan.
Maksud saya jangan hanya direnungkan tetapi mutlak harus diperbaiki dari dalam. Hal yang sama berlaku dalam pelayanan yang bersifat teknis medis. Ketika seorang dokter Puskesmas tidak pernah lagi membaca dan belajar untuk meng-update ilmunya, maka jangan harap ada transfer of knowledge kepada team worknya apalagi kepada masyarakat. Artinya pelayanan dan ilmu jalan di tempat alias stagnan. Bila hal ini terjadi maka dalam evaluasi program tidak boleh lagi ada kata "kesadaran masyarakat kurang" dalam bab hambatan dan kendala. Bagaimana mungkin kesadaran masyarakat terhadap kesehatan membaik bila yang berkompeten di bidang kesehatan sendiri tidak pernah belajar, dan hanya mengandalkan ilmu semasa di bangku sekolah semata.
Padahal mempelajari, mengembangkan dan mengamalkan ilmu adalah kewajiban sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan bentuk ungkapan syukur akan ilmu yang dianugerahkan kepada kita.
Karenanya, mutu pelayanan kesehatan sekali lagi haruslah dimulai dari internal kesehatan, dilandasi totalitas dan niat untuk dapat memberi manfaat kepada sesama.
bersambung ke Mutu Layanan Kesehatan 2: Menata Niat
No comments:
Post a Comment