Pertengahan 2003, kami menyampaikan rasa khawatir kepada beberapa orang dekat, bahwa DBD bukan hanya terjadi dan meningkat pada musim hujan saja, tetapi potensial terjadi sepanjang tahun.
Apa sih dasarnya? Opini atau sekedar ramalan?
Tentu dasarnya adalah analisa data.
Sebagai contoh nyata, kasus di Kecamatan Palaran . Pertama kali penulis menemukan kasus DBD sekitar tahun 1988 (mungkin sebelum itu sudah ada tetapi tidak tercatat), seorang gadis kecil dengan dugaan DBD ternyata benar adanya. Saat ini si kecil sudah punya buntut. Sejak itu, setiap tahunnya selalu ada kasus dugaan DBD yang dirujuk namun sayang tidak ada feedback. Yang pasti dalam sepuluh tahun terakhir ini di Palaran selalu ada kasus DBD setiap tahunnya. Bahkan dalam 2 tahun terakhir sejak 2004, praktis setiap bulan ditemukan kasus DBD.
Apakah sudah lapor? Tentu sudah, tetapi nggak usah heran kalau tidak ada tindak lanjut, karena kami menduga laporan tersebut tidak dibaca, atau mungkin hanya dibaca. Bukannya negative thingking tetapi sudah tradisi.
Tindak lanjut yang "tergopoh-gopoh" baru dimulai ketika media mulai merilis kasus DBD.
Sebenarnya ada kemajuan signifikan dari Pemerintah Kota dan DPRD Samarinda, yang selalu memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Terbukti dengan diserahkannya mesin Fogging ke Puskesmas untuk mendekatkan layanan, walau sebenarnya mesin pengasap tersebut tidak banyak membantu. Memang secara psikis seolah-olah ada perhatian, namun sekali lagi tak banyak membantu, karena hanya efektif 2 hari.
Apalagi dengan model pengasapan yang dilaksanakan ketika sudah ada kasus, apa manfaatnya ?
Terlepas dari perdebatan manfaat Fogging, perhatian Pemkot Samarinda dan DPRD tersebut patut disyukuri. Sayangnya, jajaran kesehatan di tingkat Kota sepertinya tidak dalam kondisi fight dan serius.
Apa lacur? Ya itu tadi, hanya tergopoh-gopoh ketika media mulai menulis.
Lebih-lebih pada saat peningkatan kasus DBD, yang ramai justru hitung-hitungan KLB atau bukan KLB. Memang tidak salah bila berbicara dalam ranah epidemiologi dan statistik. Terkait masalah kesehatan adalah masalah sosial kemasyarakatan, pandangan melalui pintu epidemiologi saja tentu tidak relevan lagi.
Dengan nalar sederhana , tidak sepantasnya memakai KLB sebagai defend mechanism. Secara keilmuan sudah terbukti bahwa sampai saat ini DBD adalah penyakit dengan Case Fatality Rate tinggi, belum lagi penyebarannya yang cepat dan makin tidak spesifik nya gejala klinis karena dugaan perubahan strain virus. Menilik kondisi di atas, sudah seharusnya DBD mendapatkan perhatian serius dan simultan sepanjang tahun. Tindakan ini tentu tidak serta merta menjamin eliminasi kasus DBD, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab dan integritas keilmuan. Sebagai perbandingan, di Jepang, 1 (satu) kasus Avian Influenza sudah membuat pemerintah memberlakukan karantina. Betapa perhatiannya.
Bagaimana penanganan DBD di Samarinda kini?
Seperti sebait lagu..: "AKU MASIH SEPERTI YANG DULU"
Semoga, nurani terpanggil ......
cakmoki | posting 19 pebruari 06
Apa sih dasarnya? Opini atau sekedar ramalan?
Tentu dasarnya adalah analisa data.
Sebagai contoh nyata, kasus di Kecamatan Palaran . Pertama kali penulis menemukan kasus DBD sekitar tahun 1988 (mungkin sebelum itu sudah ada tetapi tidak tercatat), seorang gadis kecil dengan dugaan DBD ternyata benar adanya. Saat ini si kecil sudah punya buntut. Sejak itu, setiap tahunnya selalu ada kasus dugaan DBD yang dirujuk namun sayang tidak ada feedback. Yang pasti dalam sepuluh tahun terakhir ini di Palaran selalu ada kasus DBD setiap tahunnya. Bahkan dalam 2 tahun terakhir sejak 2004, praktis setiap bulan ditemukan kasus DBD.
Apakah sudah lapor? Tentu sudah, tetapi nggak usah heran kalau tidak ada tindak lanjut, karena kami menduga laporan tersebut tidak dibaca, atau mungkin hanya dibaca. Bukannya negative thingking tetapi sudah tradisi.
Tindak lanjut yang "tergopoh-gopoh" baru dimulai ketika media mulai merilis kasus DBD.
Sebenarnya ada kemajuan signifikan dari Pemerintah Kota dan DPRD Samarinda, yang selalu memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Terbukti dengan diserahkannya mesin Fogging ke Puskesmas untuk mendekatkan layanan, walau sebenarnya mesin pengasap tersebut tidak banyak membantu. Memang secara psikis seolah-olah ada perhatian, namun sekali lagi tak banyak membantu, karena hanya efektif 2 hari.
Apalagi dengan model pengasapan yang dilaksanakan ketika sudah ada kasus, apa manfaatnya ?
Terlepas dari perdebatan manfaat Fogging, perhatian Pemkot Samarinda dan DPRD tersebut patut disyukuri. Sayangnya, jajaran kesehatan di tingkat Kota sepertinya tidak dalam kondisi fight dan serius.
Apa lacur? Ya itu tadi, hanya tergopoh-gopoh ketika media mulai menulis.
Lebih-lebih pada saat peningkatan kasus DBD, yang ramai justru hitung-hitungan KLB atau bukan KLB. Memang tidak salah bila berbicara dalam ranah epidemiologi dan statistik. Terkait masalah kesehatan adalah masalah sosial kemasyarakatan, pandangan melalui pintu epidemiologi saja tentu tidak relevan lagi.
Dengan nalar sederhana , tidak sepantasnya memakai KLB sebagai defend mechanism. Secara keilmuan sudah terbukti bahwa sampai saat ini DBD adalah penyakit dengan Case Fatality Rate tinggi, belum lagi penyebarannya yang cepat dan makin tidak spesifik nya gejala klinis karena dugaan perubahan strain virus. Menilik kondisi di atas, sudah seharusnya DBD mendapatkan perhatian serius dan simultan sepanjang tahun. Tindakan ini tentu tidak serta merta menjamin eliminasi kasus DBD, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab dan integritas keilmuan. Sebagai perbandingan, di Jepang, 1 (satu) kasus Avian Influenza sudah membuat pemerintah memberlakukan karantina. Betapa perhatiannya.
Bagaimana penanganan DBD di Samarinda kini?
Seperti sebait lagu..: "AKU MASIH SEPERTI YANG DULU"
Semoga, nurani terpanggil ......
cakmoki | posting 19 pebruari 06
No comments:
Post a Comment